INDOPOS.CO.ID – Ini kabar buruk untuk Partai Golkar. Hasil survey nasional Poltracking Indonesia disebutkan, elektabilitas partai berlambang pohon beringin itu tersalip Partai Gerindra. Ini adalah pengaruh langsung dari kasus e-KTP yang dihadapi ketuanya, Setya Novanto. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), masih bertengger di posisi puncak.
Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, Hanta Yuda AR mengutarakan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan lembaganya baru-baru ini, elektabilitas PDIP mencapai 23,4 persen. Ini berdasarkan hasil survei nasional Poltracking Indonesia terkait peta elektoral 2019.
Perubahan terlihat pada posisi kedua. Pada pemilu 2014 dan hasil survei beberapa lembaga menempatkan Golkar di posisi kedua. Pada survei kali ini, posisi Golkar disalip oleh Partai Gerindra. Partai besutan Prabowo Subianto itu mengantongi elektabilitas sebesar 13,6 persen, sementara Golkar 10,9 persen.
“Sedangkan partai lainnya di lima besar adalah Partai Kebangkitan Bangsa (5,1 persen, red) dan Partai Demokrat (4,2 persen, red),” ungkapnya kepada wartawan di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Minggu (26/11).
Menurutnya, salah satu alasan terbesar masyarakat dalam memilih partai adalah kesesuaian visi misi serta program kerja. “Mempunyai visi-misi dan program kerja yang baik atau sesuai sebesar 28,6 persen, adalah alasan publik paling banyak dalam menentukan pilihan partai,” terangnya.
Alasan lainnya, sambung Hanta, karena memiliki tokoh partai yang diidolakan (17,8 persen), partai sesuai dengan kepercayaa atau ideologi yang diyakini (10,6 persen) dan memiliki keluarga atau kerabat sebagai simpatisan partai tersebut (7,3 persen).
Salah satu faktor yang menyebabkan suara Golkar turun, lanjutnya, adalah karena dinamika internalnya seiring dengan figur Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto yang terkena kasus hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu berdampak pada elektabilitas Golkar meskipun partai tersebut bukan partai yang bergantung pada figur.
“Tapi ini simbol. Ini memberi dampak secara elektoral, pasti. Maka kasus ini setidaknya menjadi beban elektoral bagi Golkar,” kata Hanta. Meski begitu, Hanta menekankan, hasil tersebut tak hanya dipengaruhi karena satu faktor melainkan dari sejumlah faktor. Pertama, dari Gerindra yang mendapatkan sumbangan elektoral dari figur Prabowo Subianto.
Di samping itu, bisa juga diakibatkan karena dukungan Golkar terhadap Jokowi pada 2019 belum terasosiasi kuat dengan Golkar. Sehingga Golkar belum mendapatkan sumbangan elektoral.
“Yang menarik juga karena mereka (PDIP dan Gerindra, red) punya capres. Tadi kan kedua paling tinggi elektabilitas capres dua orang itu (Jokowi dari PDIP dan Prabowo dari Gerindra, red),” ujarnya.
Namun, kata Hanta, angka masyarakat yang belum memilih atau digolongkan ke dalam kategori undecided voter masih cukup tinggi, yakni 28,8 persen. “Ada 28 persen. Sehingga angka-angka tadi mestinya di atas itu,” kata Hanta.
Dia menambahkan, untuk elektabilitas calon presiden nama Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto yang memperoleh elektabilitas di atas 10 persen. Ada tiga hal yang menjadi alasan peluang kembali terjadinya head to head antara dua orang itu dalam pemilihan presiden (pilpres) mendatang.
Hanta menguraikan, mengapa peluang terjadinya kembali head to head antara Jokowi dengan Prabowo dalam memperebutkan kursi presiden tahun 2019 cukup besar. Pertama, hanya dua kandidat itu yang memperoleh elektabilitas dua digit.
“Kedua, Jokowi hampir pasti diajukan kembali menjadi capres. Ketiga, Gerindra akan sekuat tenaga membentuk poros pengusung Prabowo. Karena Prabowo turut memberikan insentif elektoral tinggi terhadap Partai Gerindra,” terang Hanta.
Survei ini, jelas Hanta, juga merekam kepercayaan publik terhadap partai politik (parpol). Berdasarkan hasil surveinya, hanya 38,1 persen publik yang mempercayai parpol dan hanya 17,6 persen publik yang merasa dekat dengan parpol.
“Survei nasional ini dilakukan pada 8-15 November 2017. Jumlah responden dalam penelitian itu ada sebanyak 2.400 dengan margin of error kurang lebih dua persen pada tingkat kepercayaan 95 persen,” kata Hanta.
Sementara, Ketua Harian DPP Partai Golkar, Nurdin Halid mengaku, tak terkejut dengan hasil tersebut. Ia memahami bahwa dinamika dan permasalahan yang terjadi di internal Golkar berdampak pada elektabilitas partainya.
Nurdin berharap, Golkar bisa memperbaiki elektabilitasnya seiring dengan rencana konsolidasi partai. “Jangan lupa, waktu masih 1,5 tahun. Insya Allah Golkar setelah konsolidasi bulan-bulan depan Insya Allah akan menduduki posisi nomor dua. Bisa juga menyalip PDI-P,” kata Nurdin di kesempatan yang sama.
Terpisah, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto menyebutkan, ia tak mengambil pusing hasil survei terkait elektabilitas partainya. Dengan hasil survei Poltracking Indonesia, di mana elektabilitas PDIP jadi yang tertinggi, Hasto justru merasa harus berhati-hati.
“Kami tidak memusingkan hasil survei. Ini kan hanya instrumen, indikasi. Justru range surveyelektabilitas yang berkisar antara 23-32 persen kami jadi hati-hati,” ungkap Hasto di Sari Pan Pasific Hotel, Jakarta Pusat, Minggu (26/11).
Menurut dia, pihaknya harus hati-hati dalam hal bagaimana PDIP hadir di tengah masyarakat, bagaimana PDIP memimpin pergerakan masyarakat, dan bagaimana PDIP menampilkan wajah idealnya untuk antikorupsi. “Antikorupsi melalui mekanisme kelembagaan di tubuh partai,” lanjut dia.
Secara psikologis, terang Hasto, hasil survei yang tinggi itu berbahaya. Hasil yang tinggi itu seharusnya semakin mendorong kader partai untuk bekerja lebih baik lagi di tengah masyarakat.
“Karena secara psikologis, ada bahaya juga kalau semua merasa survei tinggi. (Jadi) merasa aman kemudian tidak kerja keras,” tutupnya. (aen)
sumber: http://politik.indopos.co.id/read/2017/11/27/118168/Elektabilitas-Golkar-Ambrol-Tersalip-Gerindra