Ditengah pandemi yang belum usai, kita disuguhkan beberapa tampilan para elite politik dalam mempersiapkan panggung menuju Pilpres 2024. Tampilan yang dipertontonkan saat ini tidak terlepas dari relasi kuasa yang tercipta oleh para pimpinan negeri. Panggung dagelan yang dipertontonkan ini menarik perhatian dari masyarakat khususnya millennial yang saat ini memiliki kepekaan lebih terhadap sosial, politik, dan budaya.
Fenomena baliho politik dilihat sebagai contoh salah satu tidak merasanya sense of crisis terlebih lagi pagebluk pandemi yang tidak berkesudahan ini. Millennial voters memiliki anggapan bahwa maraknya baliho politik yang dipertontonkan para pejabat atau elite politik tidak lebih dari sekadar meningkatkan elektabilitas dari pejabat publik tersebut.
Menurut Hanta Yuda, Direktur Poltracking Indonesia, mengatakan ada sekitar 40% pemilih milenial yang dapat memiliki pengaruh dalam pemilihan presiden 2019. Banyaknya jumlah generasi millennial sebagai pemilih, tentu saja menjadikan sasaran empuk bagi elite politik. Mereka berusaha menampilkan citra diri sebaik mungkin untuk mendapatkan simpati dari kaum milenial.
Hanta Yuda juga mengatakan bahwa, sekitar 60%, generasi millennial juga merupakan generasi galau yang masih belum bisa menetapkan pilihan politiknya. Sisanya, 50% sudah bisa menetapkan pilihan politiknya. Begitu juga ketika kaum milenial mengambil keputusan, tentu saja memiliki dampak secara langsung pada pilpres 2019. Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan kaum milenial yaitu, voting behavior, dan political branding (Mariyanti 2019).
- Elektabilitas Tokoh Politik
Para tokoh politik yang memiliki elektabilitas tinggi merupakan orang yang dikenal baik secara meluas dalam masyarakat. Namun untuk dapat dikenal secara luas, perlu ada usaha untuk memperkenalkan. Di sini publikasi dan kampanye memegang peranan penting. Ada orang baik, yang memiliki kinerja tinggi dalam bidang yang ada hubungannya dengan jabatan publik yang ingin dicapai, tapi karena tidak ada yang memperkenalkan menjadi tidak elektabel. Sebaliknya, orang yang berprestasi tinggi dalam bidang yang tidak ada hubungannya dengan jabatan publik, boleh jadi mempunyai elektabilitas tinggi karena ada yang mempopulerkannya secara tepat (Zainal 2013).
Dalam hal ini fenomena baliho partai politik merupakan bentuk upaya legitimasi guna mendongkrak elektabilitas dari setiap tokoh politik, namun yang menjadi pembeda dalam hal ini seiring berjalannya kemajuan zaman yang serba digital, apakah baliho masih menjadi cara yang terbaik atau tidak.
Penulis menilai baliho merupakan bentuk salah satu media upaya untuk memperkenalkan tokoh politik kepada publik. Pendekatan semacam ini menjadi fenomena baru di tahun 2021, setiap tokoh politik sedang mempersiapkan guna Pilpres di tahun 2024.
- Hilangnya Sense of Crisis di Tengah Pandemi
Percepatan penanggulangan wabah covid-19 dapat terwujud bilamana seluruh komponen anak bangsa memiliki rasa sense of crisis terhadap kondisi yang sedang terjadi. Kepekaan terhadap krisis akan berpengaruh pada tindakan dan cara-cara yang akan digunakan. Diperlukan upaya lebih extra ordinary dalam berperilaku positif dengan harapan tujuan percepatan penanggulangan dapat terwujud.
Namun tidak bagi para elite politik, dengan maraknya baliho partai politik dapat dinilai sebagai suatu hilangnya sense of crisis di tengah pandemi dengan terfokus pada mengejar kekuasaan utama di tahun 2024.
Ini merupakan suatu pukulan telak bagi para masyarakat yang amat sangat terdampak atas pandemi yang terjadi saat ini. Bagi mereka hanya ingin memiliki kepastian hidup yang jelas dan dapat tercukupinya segala kebutuhan mereka, dalam hal ini penulis berharap perlu ada langkah konkret yang dilaksanakan oleh para tokoh politik dalam bahu membahu menyelesaikan permasalahan yang ada pada saat ini tidak hanya melihat soal kekuasaan semata. Millennial Voters beranggapan apabila hal semacam ini yang terus dilakukan, bisa memudarkan keniatan dari pada pemilih pemula dalam Pilpres 2024 kelak.
- Upaya Legitimasi Terhadap Millennial Voters
Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Makin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Namun dapat berbalik apabila partisipasi politik rendah mengindikasikan rakyat enggan dalam melibatkan diri di kegiatan kenegaraan.
Pemilihan Umum merupakan pesta demokrasi lima tahunan yang dilaksanakan guna melaksanakan amanat konstitusi. Baik di media cetak, televisi, media elektronik, sampai di media sosial hampir tiap hari bahkan setiap hari selalu membicarakan dan mendiskusikan tentang masalah-masalah dan kegiatan-kegiatan politik menjelang Pemilu, ada yang membicarakan hal-hal positif ada juga yang memberitakan hal-hal negatif mengenai Pemilu ini. Pembicaraan-pembicaraan serta perbincangan hangat tentang tema-tema politik menjelang Pemilu tidak hanya berlaku bagi elite partai politik maupun kalangan akademisi.
Pemilih pemula sangat aktif membicarakan masalah politik. Politik tidak lagi menjadi hal yang tabu di kalangan anak muda, banyak dari mereka yang ketika berkumpul dengan teman-teman atau nongkrong santai sering berbicara masalah politik (Wardhani 2018).
Oleh karena itu, fenomena baliho politik merupakan salah satu bentuk upaya legitimasi oleh para elite politik dalam meningkatkan elektabilitas serta mendapatkan sebanyak-banyaknya simpati dari para millennial voters.
Penulis berharap ada langkah konkret yang dilakukan oleh para elite politik dalam menyelesaikan permasalahan pandemi ini, dengan gerakan seluruh stakeholder dalam upaya saling bahu membahu di masa sulit seperti pandemi Covid-19 di Indonesia dan dunia internasional.
Sumber: https://kumparan.com/bagas-ragil/fenomena-baliho-partai-politik-menuju-pilpres-2024-1wP8bLfwHrt/full