Informasi lebih lanjut hubungi 0811914812 / 081294084328

News & Blog

Kawah Candradimuka Kepemimpinan Nasional Ada di Daerah

News & Blog

KOMPAS.COM – Dulu, mimpi menjadi presiden mungkin hanya dimiliki oleh mantan jenderal, ketua umum partai, pengusaha, dan tokoh nasional lainnya.

Itu terlihat dari nama-nama calon presiden usai runtuhnya Orde Baru yang didominasi empat golongan tadi.

Ya, sepanjang 1999 hingga 2009, beberapa nama sepertiMegawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Jusuf Kalla masih setia menghiasi panggung politik nasional.

Namun, terpilihnya Jokowi sebagai presiden pada 2014 meninggalkan tren politik baru. Konstelasi politik nasional berubah. Kini bukan lagi ketua umum partai, mantan jenderal, dan pengusaha yang berpeluang besar menjadi presiden, melainkan kepala daerah.

Di media sosial yang menjadi salah satu ruang publik terbesar, masyarakat bahkan tak lagi mengelu-elukan tokoh nasional sebagai calon presiden.

Nama-nama yang kerap muncul menjadi buah bibir selaku calon presiden juga berasal dari kepala daerah. Sebut saja Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan beberapa nama lainnya yang kerap muncul menghiasi lini masa media sosial.

Mereka kerap menjadi bahan perbincangan karena aksinya di lapangan yang langsung dirasakan warga. Bahkan tak jarang warga menyebut mereka sebagai calon presiden Indonesia di masa depan.

Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda menyatakan, tren ini cenderung menguat hingga pemilu presiden 2019 mendatang.

“Itu pula misalnya kita melihat Pak SBY mengkader anaknya (Agus Harimurti Yudhoyono) untuk ke Jakarta karena trennya memang begitu,” kata Hanta dalam sebuah diskusi di Kompleks Parlemen, Jakarta, beberapa waktu lalu.

“Calon presiden bukan lagi mantan jenderal dan ketua umum partai tetapi kepala daerah yang dipersepsikan berprestasi,” ujar dia.

Tren ini bisa jadi menunjukkan pola baru regenerasi kepemimpinan nasional. Jika dulu regenerasi kepemimpinan nasioanal selalu berasal dari mereka yang berkiprah di pusat, kini daerah justru menjadi kawah candradimuka.

Beberapa negara dengan predikat peradaban demokrasi yang maju seperti Amerika Serikat (AS) telah memulai tren regenerasi kepemimpinan nasional seperti ini.

Sebagian presiden AS sebelumnya memang seorang gubernur, seperti Franklin Delano Roosevelt (New York), Bill Clinton (Arkansas), dan George Walker Bush (Texas).

Hanta menuturkan, tren kepala daerah berprestasi menjadi calon presiden dimulai sejak 2012. Jokowi memang menjadi simbol dalam hal ini.

Ia membangun karier politik dari daerah, tepatnya di Solo, lantas perlahan merangkak ke tingkat nasional usai terpilih dan memimpin Jakarta selama dua tahun.

Menurut Hanta, tren ini merupakan capain positif bagi Indonesia yang baru 18 tahun memasuki era demokrasi terbuka.

Hanta menilai selera publik yang beralih ke kepala daerah berprestasi sebagai calon presiden menunjukan peningkatan rasionalitas dalam menentukan pilihan.

“Artinya selera publik menjadi semakin terukur. Publik ingin memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak jelas. Dimulai dari memimpin kota yang cakupannya kecil, sedikit lebih besar menjadi gubernur, hingga skala besar menjadi Presiden,” ucap Hanta.

Dampak negatif

Hanya, Hanta mengakui ada hal negatif yang muncul dalam tren ini, yaitu ada kecenderungan tidak tuntasnya masa jabatan saat memimpin suatu daerah.

Hal itu disebabkan karena si kepala daerah sudah direncanakan untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden oleh partainya.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya. Selain berpotensi tidak tuntasnya masa jabatan kepala daerah, hal negatif lainnya ialah menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya tangga politik nasional.

Yunarto menilai hal itu menimbulkan anggapan Jakarta lebih berharga dibandingkan daerah lain. Padahal, menurut dia, kompleksitas pembangunan di daerah lain seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan provinsi lainnya tak kalah rumit dari Jakarta.

“Di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur secara jumlah penduduk tak kalah banyak dari Jakarta, semestinya daerah lain juga bisa memunculkan pemimpin yang siap bersaing di level nasional,” kata Yunarto saat dihubungi.

Ia pun menilai sistem regenerasi kepemimpinan nasional dari kepala daerah berprestasi tentu merupakan tren positif yang harus dijaga.

Namun, hal itu perlu didukung dengan kaderisasi partai politik (parpol) yang mumpuni. Sebab parpol kerap mengkarbit tokoh eksternal yang tak memiliki jenjang kepartaian.

Sementara di internal parpol sejatinya cukup banyak stok calon pemimpin yang bisa diproyeksi menjadi calon presiden melalui kiprah di daerah.

“Jika parpol sigap melembagakan tren ini dalam sistem kepartaian, maka tren ini akan terus terjaga dengan kualitas yang lebih baik,” tutur Yunarto.

Hingga 2019

Dua tahun usai Jokowi terpilih, tren kepala daerah berprestasi menjadi calon presiden tampaknya masih akan menguat hingga 2019.

Hal itu terlihat pula dari pencalonan gubernur DKI Jakarta. Orang yang pernah memiliki kiprah di level nasional seperti Anies Baswedan, tetap merasa harus turun gunung menjadi gubernur DKI agar bisa menggapai anak tangga yang lebih tinggi.

Kini, masyarakat Indonesia memiliki preferensi calon presiden yang memiliki rekam jejak yang nyata. Mereka menginginkan orang yang punya pengalaman memimpin birokrasi dan mengembangkan daerah sesuai dengan potensinya.

Mereka menginginkan calon pemimpin yang benar-benar teruji. Hal itu jelas tidak instan. Trennya, masyarakat Indonesia menginginkan calon pemimpin yang matang dan daerah menjadi kawah candradimukanya.

Hal inisebagaimana yang dinyatakan Benjamin Barber dalam bukunya yang berjudul If Mayors Rules the World: Dysfunctional Nations, Rising Cities.

“Dalam perkembangannya, daerah berhadapan langsung dengan problem-problem yang juga dihadapi negara, mulai dari masalah pendidikan, infrastruktur, hingga kemiskinan. Dalam konteks inilah, kepemimpinan lokal yang efektif menemukan relevansinya.”

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2016/10/24/09265941/kawah.candradimuka.kepemimpinan.nasional.ada.di.daerah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

We take processes apart, rethink, rebuild, and deliver them back working smarter than ever before.