MERDEKA – Perpecahan di tubuh partai akibat pembangkangan para kader menjadi sorotan publik menjelang Pilpres 2014. Hal itu kini terjadi di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
KETUA Badan Litbang yang juga Ketua Departemen Kajian dan Kebijakan Partai Golkar Indra Jaya Piliang, Wakil Dewan Pertimbangan Partai Golkar Luhut Binsar Pandjaitan dan beberapa pengurus DPP mempunyai pandangan berseberangan dengan ketua umum mereka, Aburizal Bakrie (Ical).
Indra dkk kemudian menyatakan mendukung capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla (JK). Mereka menolak keputusan yang telah diambil Ical, yaitu mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai capres-cawapres pada pilpres mendatang.
Perpecahan di tubuh Partai Hanura telah membawa Hary Tanoesoedibjo meninggalkan Ketua Umum DPP Wiranto. Dia kemudian memutuskan untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Padahal, posisi Hary Tanoe di Partai Hanura sangat strategis, yaitu sebagai ketua badan pemenangan pemilu.
Kebebasan Pribadi
Mahfud MD dan Rhoma Irama yang semula dicapreskan PKB, akhirnya juga memutuskan untuk berbeda dari keputusan partai yang mendukung Jokowi-JK. Mahfud bahkan menjadi Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, dan Rhoma siap berkampanye untuk memenangkan Prabowo.
Yang menarik kedua sosok ini beberapa bulan sebelumnya berada di balik kesuksesan PKB meraih suara pada Pileg 2014.
Berbagai pertimbangan menjadi dasar para pembangkang terhadap keputusan partainya dalam menghadapi Pilpres pada 9 Juli mendatang. Banyak yang menilai minor langkah mereka, yaitu hanya sebagai upaya memburu jabatan. Hal ini karena bila mereka sejalan dengan keputusan partainya, maka pupuslah jabatan yang mereka inginkan.
Sementara itu, ada koalisi lain yang mengusung capres-cawapres yang berpotensi untuk memenangkan Pilpres 2014.
Ada penilaian lain yang menyebutkan langkah tersebut bagian dari skenario politik dua kaki. Dengan demikian, siapa pun yang menang, selalu mendapatkan bagian dari bagi-bagi kekuasaan. Namun benarkah alasan yang demikian itu.
Menurut Indra, dirinya bersama banyak kader Golkar merasa harus berani bersikap berbeda dari Ical karena ada beberapa hal yang mendasarinya. Pertama, dari empat orang peserta Pilpres 2014, hanya JK satu-satunya kader Golkar. Dukungan terhadap Jusuf Kalla, menurut Indra, sesuai dengan AD/ART partai, setiap pengajuan kader Partai Golkar itu harus didukung oleh partai. Langkah untuk mendukung JK justru langkah yang strategis bagi Golkar.
Dengan demikian Ical, menurut Indra, seharusnya tidak mengingkari AD/ART tersebut. Walaupun telah menyatakan mundur dari dua jabatannya di DPP Golkar. Namun, Indra menyatakan, tidak akan mundur sebagai anggota Golkar. Sebab, dia telah lima tahun lebih berkiprah di partai tersebut.
Hal senada juga dikatakan Mahfud MD yang kini resmi menjadi Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta. Pria asal Madura tersebut menyatakan tidak keluar dari PKB. Menurut Mahfud, dirinya sudah mendukung penuh PKB pada Pileg 2014 dan Pilpres 2014. Dia meminta dihormati kebebasan menggunakan haknya untuk memilih calon pemimpin yang sesuai dengan keyakinannya.
Mahfud juga menyadari langkah yang diambilnya tersebut sangat rentan dinilai sebagai aksi pembalasan barisan sakit hati, serta juga dapat dinilai sedang memburu jabatan tertentu. Namun, dia mengungkapkan, banyak pihak yang justru mendukungnya untuk berani menyatakan sikap secara pribadi dalam pilpres ini. Dengan demikian, dia benar-benar merdeka dari bayang-bayang kepentingan partai.
Sementara itu, menurut Rhoma Irama, pilihannya untuk mendukung Prabowo-Hatta karena melihat bahwa bangsa ini memang butuh sosok pemimpin seperti mereka, yang dapat menjaga demokrasi bangsa ini sehingga tidak kebablasan.
Pembelajaran Politik
Di mata Hary Tanoe, Prabowo adalah sosok yang tahu permasalahan bangsa secara komprehensif dan tahu cara penyelesaiannya berkaitan dengan pengalamannya selama duduk di pemerintahan dan menjadi pegiat organisasi petani. Dia pun bertekad mendukung pasangan capres-cawapres itu, walaupun Hanura secara resmi mendukung Jokowi-JK.
Mundurnya Hary Tanoe dari Hanura juga akibat gagalnya Wiranto selaku ketua umum berkomunikasi dengan dia. Walaupun Wiranto menegaskan, pilihan mundur itu karena Hary yang pengusaha dan banyak kawan di mana-mana ingin netral dalam pilpres.
Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute, Hanta Yuda AR menilai para politikus sah untuk menyampaikan argumen yang sifatnya ideal dalam kacamata politik. Namun, mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk memenangkan capres-cawapres dalam pilpres akan cendurung mendorong pada prinsip ”tidak ada makan siang gratis”.
Selain itu, juga tidak dapat mengesampingkan fakta bahwa dalam politik tidak ada lawan atau kawan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan belaka.
Menurut dia, argumen para politikus yang tidak menyebutkan alasan sakit hati, kecewa, dijanjikan jabatan, deal tertentu, dan sebagainya adalah sebuah pembelajaran politik yang baik bagi publik. Dalam arti, publik tidak dipertontonkan secara telanjang adanya kepentingan sesaat di balik pembangkangan pada satu sisi, dan dukungan pada sisi yang lain.
Dalam konteks yang lain, kata Hanta, balas jasa bagi para pendukung pasti akan dilakukan. Sebab, hal itu berkaitan dengan kinerja pemerintah yang harus diupayakan aman dari gangguan parlemen.
Dalam kondisi seperti itu, maka perlu kekuatan di parlemen 50 persen kursi plus 1. Tentunya pihak pemenang tidak ingin bila mereka yang mendukung dalam pilpres menjadi berulah melalui wakilnya di parlemen, akibat balas jasa yang tidak sebanding.
Sumber :Suara Merdeka, 26 Mei 2014