KOMPAS.COM – Sebanyak 101 daerah bakal menghelat pilkada pada Februari tahun depan. Sejumlah tahapan pun sudah dilewati.
Termasuk mendaftarkan bakal pasangan calon ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Namun ada hal yang tak bulat di partai. Sejumlah kader membelot dari keputusan partai.
Mereka menolak keputusan partai untuk mengusung calon tertentu dan kemudian menambatkan dukungannya kepada calon pilihannya sendiri.
Fenomena tersebut bukan barang baru dan kerap dijumpai pada musim pemilu, baik Pemilu Kepala Daerah maupun Pemilu Presiden.
“Ini fenomena yang selalu terjadi di setiap Pilkada dan Pilpres. Biasa itu,” ujar Direktur Eksekutif Poltracking Institute Hanta di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/10/2016).
Pilkada DKI Jakarta bisa menjadi salah satu contoh. Di Ibu Kota, sejumlah kader secara tegas menyatakan sikap yang berbeda dari keputusan partai.
Sebut saja Politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul. Figur kontroversial ini sejak awal telah menyatakan dukungannya untuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Bahkan setelah partainya menetapkan dukungan untuk Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni, Ruhut tetap teguh pada pilihan awalnya.
Sikap Ruhut dikecam banyak koleganya di Partai Demokrat. Namun Ruhut tak ambil pusing dan meyakini bahwa Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah sosok yang demokratis dan membebaskan kadernya menentukan pilihan.
Lain halnya dengan Boy Sadikin. Mantan Ketua DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) DKI Jakarta itu mundur sebagai kader karena menolak keputusan partai yang mendukung Ahok.
Adapun Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Djan Faridzjustru menetapkan dukungannya untuk Ahok-Djarot meski partainya mendukung Agus-Sylvi.
Sikap Djan terkait Pilkada DKI diyakini merupakan ekor dari terbelahnya PPP beberapa waktu silam yang membuat partai berlambang kakbah itu terbagi menjadi dua kepengurusan.
Contoh lain, adalah Partai Golkar. Sebagai salah satu partai pendukung Ahok, justru banyak kader Golkar yang menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap keputusan partai.
Bentuk penolakan tersebut diungkapkan di depan media massa secara lantang. Sebut saja Ahmad Doli Kurnia.
Tokoh muda Golkar ini meminta partai mencabut dukungan terhadap Ahok-Djarot. Sosok Ahok dianggap tak relevan dengan doktrin karya kekaryaan serta Ikrar Panca Bhakti Golkar.
Terlebih, pernyataan mantan Bupati Belitung Timur itu sempat menuai kontroversi karena menyinggung bunyi ayat suci Al-Quran.
Tokoh senior Golkar, Fadel Muhammad pun sempat ditegur oleh Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.
Teguran diberikan karena Fadel sempat berkomentar di media massa bahwa Golkar akan mengevaluasi dukungan kepada Ahok terkait pernyataannya yang mengutip ayat Al Quran.
Terakhir, Ketua Departemen Bidang Energi dan Energi Terbarukan DPP Partai Golkar Dedy Arianto mundur dari kepengurusan PartaiGolkar karena merasa tak sejalan dengan keputusan Golkarmendukung Ahok-Djarot.
Terlalu elitis
Hanta Yuda melihat fenomena yang berulang tersebut berakar pada proses kandidasi atau pencalonan yang terlalu elitis.
Kader kerap tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan sehingga berujung pada “pembelotan”.
“Misalnya, tiba-tiba diputuskan kandidatnya si A. Enggak setuju, (kader) keluar. Proses elitisnya kurang demokratis,” tutur Hanta.
Menurut Hanta, setidaknya, ada dua hal yang perlu dilakukan partai-partai agar ke pembelotan kader ke depannya dapat diminimalisasi.
Pertama, ada proses pencalonan yang demokratis, transparan dan melibatkan seluruh elemen partai.
Kedua, konsolidasi internal harus dilakukan dan diperkuat.
Dua hal tersebut dinilainya perlu untuk menghadapi tantangan partai politik yang kental dengan faksionalisme.
“Partai kan faksionalismenya menajam. Jadi harus ada formula untuk melembagakan faksionalisme. Bagaimana? Salah satunya, proses kandidasi demokratis. Bikin ring yang terbuka, jangan elitis,” tutur dia.
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2016/10/11/06401481/tak.turut.aturan.partai.karena.pencalonan.yang.terlalu.elitis.?page=all