INDOPOS.CO.ID – Kiprah duet Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla pada tahun pertama masih belum mampu memuaskan publik. hal itu tergambar dari hasil survei yang digelar dua lembaga, yakni Poltracking dan Saiful Munjani Research & Consulting (SMRC).
Meskipun demikian, publik masih memberi kesempatan Jokowi-JK untuk memperbaiki keadaan. Poltracking dan SMRC sama-sama melakukan survei pada pekan kedua Oktober. Yakni, pada 7-14 Oktober. Survei itu dimulai bersamaan dengan pengumuman paket kebijakan ekonomi III oleh pemerintah. Poltracking merilis prosentase kepuasan publik pada kinerja Jokowi-JK ada di angka 42,95 persen.
Tingkat kepuasan itu menurun ketimbang enam bulan sebelumnya yang masih di angka 44 persen. Sedangkan, SMRC merilis tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden dan Wapres masing-masing 51,7 dan 54,7 persen. Direktur SMRC Jayadi Hanan membandingkan dengan tingkat kepuasan publik terhadap Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun pertamanya.
“Pada September 2005, tingkat kepuasan ke SBY 56 persen, jadi tingkat kepuasan terhadap Jokowi lebih rendah dari SBY,” terangnyaKedua lembaga survei samasama menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi-JK jeblok si sektor ekonomi. Bahkan, survei Poltracking menunjukkan tingkat kepuasan publik di sektor ekonomi hanya 22,32 persen. Sedangkan, publik yang tidak puas mencapai 71,79 persen.
Sebaliknya, mayoritas publik puas terhadap kinerja di bidang pendidikan, kesehatan, dan keamanan. “Jadi, ekonomi menurun tapi masyarakat merasa aman,” terang Direktur Poltracking Hanta Yudha. Tingkat kepuasan di ketiga bidang itu masing-masing 60, 59, dan 57 persen. Sedikit berbeda, SMRC menjabarkan tingkat kepuasan di bidang ekonomi pada sektor yang lebih spesifik. Di antaranya, menjaga harga sembako tetap terjangkau, pengurangan pengangguran, dan pengurangan kemiskinan.
Di ketiga sektor tersebut, publik yang menilai buruk masing-masing 55, 59, dan 55 persen. Meski begitu, publik masih bisa menerima kepemimpinan Jokowi-JK. Ketika ditanya siapa presiden pilihan apabila pilpres dilakukan sekarang, mayoritas tetap memilih Jokowi. menurut Jayadi, ada dua penyebab publik masih percaya Jokowi. Pertama, sat ini masih tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK.
“Masyarakat sangat kritis terhadap pemerintah, namun tidak sampai anarkistis,” ucapnya. Faktor kedua, belum ada alternatif pemimpin yang muncul. Terbukti, pilihan publik masih berkutat pada Jokowi- Prabowo-SBY. Meskipun demikian, dia yakin tahun kedua bakal ada perubahan. Apabila Jokowi-JK masih belum mampu mewujudkan janji-janjinya, mereka bisa dihukum.
Sementara itu, untuk tingkat kepuasan terhadap kinerja para menteri, cukup sulit untuk diukur. Hanta menuturkan, tidak semua menteri dikenal oleh publik. “Jadi, publik juga mengalami kesulitan untuk mengukurnya,” tutur dia. Sebagai gambaran, lima besar menteri terpopuler berdasarkan survei adalah Susi Pujiastuti, Anies Baswedan, Lukman Hakim Saifuddin, Khofifah Indar Parawansa, dan Puan Maharani.
Dalam hal kinerja, posisi kelima menteri itu juga sama. Namun, ketika disodori pilihan puas, tidak puas, dan tidak tahu, secara umum mayoritas publik menjawab tidak tahu. Hanta menyimpulkan, kinerja pemerintah di bidang ekonomi harus segera dibenahi karena sektor tersebut menerima pukulan paling besar. Kemudian, ketidakpuasan publik secara umum masih berada di level mengkhawatirkanprogramprogram dalam nawa cita harus segera dirasakan manfaatnya oleh publik, khususnya proyek mercusuar.
Sementara itu, Banyaknya catatan negatif dan ketidakpuasan publik atas pencapaian satu tahun pemerintahan Jokowi mendapat pembelaan dari para relawan. Menurut mantan pembantu Jokowi di masa kampanye itu, apa yang terjadi saat ini merupakan hal yang biasa. Kordinator Sukarelawan Indonesia Untuk Perubahan, Dimas Oky Nugroho mengatakan, pada era SBY, kondisi rumit juga dialaminya saat itu. Sebab, satu tahun pertama merupakan masa membangun konsolidasi internal pemerintahan.
“Bahkan hingga periode pertama habis, masih ada kegaduhan. Baru di periode dua mulai cair,” ujarnya di Cikini, Jakarta kemarin (20/10). Alhasil, dengan belum tercapainya konsolidasi politik di internal, berbagai program yang dicanangkan Jokowi belum menuai buahnya. Sebab, sebagus apapun programnya, akan sulit dicapai tanpa adanya konsolidasi rezim politik. Oleh karenanya, Dimas berharap, di tiga bulan tahun kedua kepemimpinannya, Jokowi memberikan porsi lebih dalam membangun konsolidasi politik.
“Jika pun terjadi reshuffle ke depan itu harus memperkuat konsolidasi politik,” terangnya. Kemudian, lanjutnya, Jokowi bisa meniru SBY dalam hal membangun rezim koalisi partai yang kuat. Namun dengan catatan, tidak ada matahari kembar dalam koalisi tersebut. “Seperti SBY, sangat kuat dan solid,” terangnya.
Namun, jika hal tersebut tidak bisa dilakukan mengingat posisi Jokowi di partai yang lemah, mantan walikota Solo itu bisa membangun sistem “Beyond Party”. Yakni dengan menggandeng orang partai, kalangan professional yang memiliki kapasitas, integritas dan loyalitas. “Hal itu penting dilakukan, sebab mustahil pemerintah bisa menunjukkan kinerja maksimal jika internalnya tidak solid,” paparnya.
Lantas, bagaimana penilaian kinerja pemerintah yang ada, di mata Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK)? Dia mengakui, ada beberapa hal yang dinilai cukup berhasil, namun masih ada pula yang di bawah ekspektasi.
“Seperti ekonomi yang ukurannya jelas, pertumbuhannya memang di bawah yang kita harapkan,” ujarnya di Kantor Wakil Presiden kemarin (20/10). Menurut JK, selain imbas dari lesunya perekonomian global, perlambatan ekonomi Indonesia diakuinya juga disebabkan struktur perekonomian nasional yang kurang kompetitif dan belum efisien. Karena itu, sepanjang satu tahun pemerintahan Jokowi – JK, pemerintah melakukan reformasi struktural besar-besaran, mulai dari memangkas aturan penghambat bisnis, hingga membangun infrastruktur skala besar.
“Ini akan jadi pondasi kuat untuk ekonomi ke depan,” katanya. Meski di sektor ekonomi belum menggembirakan, JK menyebut jika stabilitas politik dan keamanan layak mendapat apresiasi. Apalagi sempat ada kekhawatiran di awal masa pemerintahan jika situasi politik akan terus memanas akibat perseteruan koalisi pemerintah dan oposisi. “Tapi nyatanya stabilitas bisa kita jaga dengan baik,” ucapnya.
Serentetan hasil survei yang mengungkap tingkat ketidakpuasan publik atas kinerja pemerintah di sejumlah bidang, memang tak membuat ciut pihak pemerintah. Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Teten Masduki menyatakan, kondisi yang diungkap sejumlah hasil survei adalah sesuatu yang bisa dipahami. Sebab, dalam 1 tahun terakhir, fokus pemerintahan Jokowi-JK masih diarahkan pada upaya membangun pondasi yang kuat di berbagai bidang.
“Sehingga kalau tahun ini belum panen (kepuasan publik) itu biasa, karena kami memang baru mencangkul,” kata Teten, di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin (20/10). Karena itu lah, dia mengajak lembaga-lembaga survei agar lebih komprehensif juga berusaha melihat lebih dalam persoalan yang dihadapi pemerintah saat ini. Terutama, sebut dia, tentang beberapa keadaan yang merupakan warisan dari masa lalu.
Misalnya, tentang inefisiensi ekonomi, konsolidasi birokrasi, konsolidasi politik, ataupun sejumlah hal lain menyangkut pembangunan infrastruktur. Termasuk di dalamnya, lanjut Teten, persoalan-persoalan warisan masa lalu yang berkaitan dengan mindset pembangunan. Semisal, orientasi industrialisasi yang masih berorientasi konsumsi, bukan produksi. Atau, pembangunan yang masih lebih banyak terkonsentrasi di Jawa.
“Itu yang membuat tahun ini betul-betul menjadi tahun yang sulit. Tapi, oke, kami memang gunakan kesempatan untuk membangun pondasi dulu,” tandasnya. Jadi, bukan faktor kepemimpinan yang membuat tingkat kepuasan publik rendah? “Bukan, ini problem masa lalu. Namun, ini problem yang harus kami hadapi,” imbuhnya. Belum lagi, tambah Teten, di saat yang sama, pemerintah juga harus menghadapi tekanan ekonomi global yang luar biasa. Efeknya tentu adalah perlambatan ekonomi.
“Saya kira berkali-kali, presiden mengatakan memang ini tahun yang pahit. Pencabutan subsidi BBM, itu diantara yang pasti banyak kelas menengah menjadi tidak senang, tapi ini semua pil pahit yang harus ditelan,” bebernya. Senada, Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga merespon santai hasil survei yang ada. Dia mengatakan, hasil survei yang menyebut turunnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap Jokowi – JK, dipengaruhi oleh metodologi survey. Terutama, waktu pelaksanaan sebagaian survei yang dilakukan pada periode akhir September.
Ketika itu, kata politikus PDIP tersebut, rupiah tengah terpuruk dan pemerintah baru mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid 1 dan 2 yang memang bersifat jangka menengah panjang, sehingga dampaknya belum bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. “Seandainya saja survei dilakukan pertengahan Oktober, hasilnya pasti akan beda,” ujarnya.
Menurut Pramono, mulai awal hingga pertengahan Oktober, kondisi ekonomi berubah dengan sangat cepat. Misalnya, rupiah yang menguat tajam dari 14.700 per dolar AS (USD) hingga ke kisaran 13.300 per USD. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid 3 dan 4 yang lebih bisa dirasakan masyarakat dan pelaku usaha. Misalnya melalui penurunan harga solar, diskon tarif listrik, hingga penetapan formula upah tenaga kerja. ”Artinya, masyarakat bisa melihat jika pemerintah ini benar-benar bekerja,” katanya. (byu/far/owi/ dyn)
Sumber : http://www.indopos.co.id/2015/10/evaluasi-satu-tahun-kinerja-kabinet-jokowi-jusuf-kalla-publik-tak-puas.html