Informasi lebih lanjut hubungi 0811914812 / 081294084328

News & Blog

Menakar Peta Politik 2014: Pengaruh Figur Terhadap Konfigurasi Politik 2014

News & Blog

PRESS RELEASE

(Rilis Hasil Survei Nasional 16-23 Desember 2013, Pol-Tracking Institute)

Pada hari ini, 26 Januari 2014, Pol-Tracking Institute mengeluarkan hasil survei nasional yang dilaksanakan pada 16-23 Desember 2013. Penelitian yang dilakukan di 33 provisi di seluruh Indonesia dengan jumlah responden 1200 dan margin error +/- 2,83% pada tingkat kepercayaan 95% ini menggunakan metode multi-stage random sampling dalam penarikan sampel. Responden minimal berumur 17 tahun atau yang sudah mempunyai hak pilih (berdasarkan aturan yang berlaku) pada saat survei.

Ada beberapa temuan menarik dari hasil survei nasional ini. Pertama, terkait dengan pilihan publik terhadap capres, kebanyakan pemilih masih menempatkan laki-laki sebagai pertimbangan (62%). Hanya 32% yang menyatakan laki-laki/perempuan sama saja, dan 2% pemilih yang mendorong hadirnya perempuan sebagai capres, sehingga isu capres laki-laki atau perempuan masih cukup penting menentukan pilihan publik. Di sisi lain, suku/etnis capres tidak lagi berpengaruh, ada 66% yang menyatakan suku tidak berpengaruh. Walaupun masih ada 29% pemilih yang menyatakan bahwa suku mempengaruhi pilihan capres dengan rincian 25% menginginkan kandidat dari Jawa dan 4% dari luar Jawa.

Kedua, dalam pertimbangan memilih capres adalah kemampuan kandidat dalam menyelesaikan masalah (46%) dan sifat/kepribadian yang dimiliki capres (32,6%) dianggap publik menjadi pertimbangan paling penting dibandingkan variabel lainnya seperti. Karakter capres bersih/jujur (59,7%), karakter peduli dan dekat dengan rakyat (57,7%), karakter tegas dan berani (54,4%), karakter capres berpengalaman (49,8%), dan capres berkarakter pintar/visioner (49,3%) dinilai penting bagi publik. Sedangkan karakter capres berpenampilan menarik hanya 25,7%. Sehingga penampilan menarik bukan sebuah karakter yang terlalu penting. Sedangkan problem negara yang harus diselesaikan oleh capres adalah ekonomi/kesejahteraan (46,5%) dan hukum/korupsi (36%). Alhasil, informasi yang ingin diketahui adalah visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan capres (37,6%) disusul oleh sosok dan pengalaman capres (31%).

Ketiga, dalam elektabilitas capres, Jokowi jauh memimpin elektabilitas 37% dalam pertanyaan terbuka (top of mind), disusul oleh Prabowo 10,3%, Aburizal Bakrie 5,9%, dan Wiranto (5,42). Tetapi, jika Jokowi tidak maju sebagai capres (pertanyaan tertutup) maka Prabowo berpeluang memimpin perolehan suara baru kemudian disusul Megawai 15,26%; Aburizal Bakrie 13%; dan Wiranto 11%; sedangkan kandidat lain dalam skenario ‘tanpa Jokowi’ ini mempunyai elektabilitas di bawah 10%. Namun, semua kemungkinan bisa terjadi dalam skema kompetisi politik karena ada 57% pilihan publik masih mungkin berubah.

Keempat, survei ini juga menunjukkan bahwa publik cenderung setuju dalam kandidasi Jokowi (52,96%), namun kurang setuju jika Ahok menjadi capres/cawapres (32,03%). Angka ketidaksetujuan dalam kandidasi Ahok (43,29%) lebih besar dibandingkan angka persetujuan. Hal ini berbeda dengan Jokowi dimana hanya ada 26,69% publik yang tidak setuju dirinya sebagai capres/cawapres. Angka persetujuan ini menunjukkan tingkat penerimaan publik (akseptabilitas) masing-masing tokoh.

Kelima, dalam elektabilitas partai tanpa treatment (simulasi pemilu), PDIP cenderung unggul cukup tinggi dengan angka 22%, disusul Golkar 15,9%; Gerindra 8,7%; Demokrat 7,9%; PKB 4,6%; PPP 4,5%; Hanura 4,3%; PKS 3,0%; PAN 2,7%; Nasdem 2,5%; dengan PBB dan PKPI di bawah 1%. Artinya, ada dua partai yang konstan dua digit dengan posisi ketiga diperebutkan oleh Gerindra dan Demokrat yang mempunyai jarak elektabilitas tidak terlalu jauh.

Lebih jauh, jika Jokowi maju sebagai capres, maka partai yang berpeluang lolos parliamentary threshold 3,5% (PDIP 30,78%; Golkar 12,34%; Gerindra 6,51%; dan Demokrat 4,67%) sedangkan partai lain dalam survei ini kurang berpeluang menembus PT 3,5%, namun ada 4 partai yang mendapatkan suara di atas 3% (PPP 3,42%; PKB 3,25%; Hanura 3,09%; Nasdem 3,09%) yang juga berpeluang. Berbeda jika Jokowi tidak maju sebagai capres/cawapres: sedikitnya ada 7 partai berpeluang besar lolos 3,5% ke parlemen dengan perolehan PDIP jatuh diangka 18,8%, Golkar naik menjadi 15,8%, Gerindra naik menjadi 7,6%, dan Demokrat naik menjadi 5,6%, PPP 4%; PKB 4%; dan Hanura 3,92%. Artinya, skenario ini merugikan PDIP namun menguntungkan hampir semua partai akibat limpahan suara pemilih PDIP ketika Jokowi menjadi capres.

Jika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presidential threshold tetap pada angka 25% minimal suara sah partai/gabungan partai atau 20% kursi parlemen, berdasarkan kekuatan partai maka hanya ada maksimal 4 partai politik yang mempunyai peluang membentuk poros koalisi dengan peluang besar pada PDIP dan Golkar, sementara Gerindra dan Demokrat punya peluang tidak terlalu besar. Namun demikian, jika melihat kekuatan (elektabilitas) 4 figur teratas dan potensi konstelasi politik antar-partai, maka Gerindra (8,7%) dengan figur Prabowo (10,3%) dan Hanura (4,3%) dengan figur Wiranto (5,4%) berpotensi menjadi poros koalisi karena elektabilitas figur melebihi partai, selain dua partai kuat: PDIP (22%) dengan figur Jokowi (37%) dan Golkar (15,9%) dengan Aburizal Bakrie (5,9%). Di luar nama itu, masih terbuka peluang pada cawapres. Karena itu, nama-nama cawapres sangat mungkin muncul dari kalangan pimpinan partai, professional, dan kepala daerah potensial untuk mendampingi nama-nama tersebut.

Keenam, namun demikian, Party ID atau tingkat kedekatan publik terhadap partai politik sangat lemah jika dibandingkan Figure ID. Hanya ada 17,60% publik pemilih yang merasa dekat dengan partai politik. Sementara itu, Figure ID yang kuat ditunjukkan dengan banyaknya pemilih yang cenderung lebih memilih figur caleg (69,22%) dibandingkan memilih partai politik 13,26%. Caleg berlatar belakang politis/pengurus partai (50,9%) disetujui oleh pemilih sedikit lebih banyak dibandingkan latar belakang caleg sebagai pemimpin baru dan muda (48,3%), purnawirawan (47,1%), atau pejabat/birokrat (47,5%). Namun, caleg dengan latar belakang artis yang cenderung lebih populer dari latar belakang lainnya tidak banyak diminati pemilih 16,8%). Partai dengan caleg sebagai street level politicians yang berpapasan langsung dengan pemilih perlu untuk meningkatkan kinerjanya.

Ketujuh, secara keseluruhan, rata-rata alasan publik memilih partai adalah Partai dengan visi, misi dan program yang baik (29,52%) dan adanya tokoh yang diidolakan (18,68%). Sementara itu, kekuatan figur Jokowi di PDIP dan Prabowo di Gerindra mengakselerasi elektabilitas partai namun juga sekaligus menjadi alasan partai tersebut tidak dipilih atau publik tidak memilih PDIP dan Gerindra karena tidak ada tokoh yang diidolakan di partai tersebut. PKS dan Demokrat, kasus hukum menjadi alasan utama partai tersebut tidak dipilih, 44,75% publik menyatakan alasan tersebut bagi PD dan 25,28% bagi PKS.

Di sisi lain Demokrat dan PKS juga tidak memiliki figur kuat seperti Prabowo di Gerindra atau Jokowi di PDIP untuk mendongkak elektabilitas partainya. Bagi Golkar, elektabilitas partai yang kurang terakselerasi (15,9%) jika dibandingkan perolehan suara pemilu 2009 bisa jadi disebabkan karena faktor figur dinegasikan oleh publik (Aburizal Bakrie) atau “faktor tidak ada tokoh yang diidolakan” oleh pemilih Golkar (30,59%). Sementara itu, publik juga menganggap belum ada figur yang kuat (diidolakan) pada partai Hanura (32,32%) dan Nasdem (31,82) sebagai alasan kedua partai tersebut tidak dipilih, meskipun partai-partai itu tidak dipersepsikan negatif. Karena itu, ada korelasi yang cukup kuat antara prospek elektabilitas partai dengan kekuatan elektabilitas figur utama yang terasosiasi terhadap partai.

Hanta Yuda AR

Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

We take processes apart, rethink, rebuild, and deliver them back working smarter than ever before.