SUARA PEMBARUAN – Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengemukakan, hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 menunjukkan persentasi antara petahana dan wajah baru hampir berimbang.
Dari anggota yang lolos, ada 18 orang pesohor dari 70 orang yang terdaftar dalam daftar calon tetap (DCT) yang lolos ke Senayan. Terdapat juga 5 menteri kabinet sekarang yang lolos sebagai wakil rakyat.
“Komposisi yang hampir berimbang antara wajah lama dan yang baru bisa dikatakan cukup ideal karena memungkinkan timbulnya perubahan wajah parlemen ke depan. Jadi ada sedikit optimisme jika melihat komposisi DPR baru yang lebih dari setengah jumlahnya diisi oleh wajah baru,” kata Lusius di Jakarta, Jumat (16/5).
Ia menjelaskan, optimisme itu akan terjawab jika para legislator baru mampu menciptakan kegairahan baru di parlemen mendatang.
Kegairahan dalam bekerja akan muncul jika legislator baru mampu melebur dalam aktivitas-aktivitas keparlemenan tanpa perlu canggung, bingung dan tidak percaya diri.
Hal itu mengandaikan bahwa para legislator baru paham dengan tugas dan fungsi utama parlemen serta bagaimana fungsi dan tugas itu dilaksanakan.
Selain paham dengan fungsi dan tugas parlemen, wajah-wajah baru harus mulai dengan etos kerja politisi yang bisa bersaing dengan anggota lama.
“Bagi anggota parlemen baru tak ada waktu untuk belajar bekerja begitu usai dilantik menjadi anggota DPR Oktober mendatang. Mereka diandaikan sudah cakap dan siap bertarung dalam memperjuangkan janji-janji politik masing-masing kepada pemilih saat pemilu,” ujarnya.
Meski demikian, dia tegaskan rasa pesimisme lebih kental menghantarkan wajah-wajah anggota baru parlemen 2014-2019. Beberapa alasan untuk menguatkan rasa pesimisme.
Pertama, pelanggaran masif yang terjadi pada pemilu mau tidak mau mengakibatkan legitimasi wakil rakyat periode mendatang sejak awal sudah tergerus.
Jika benar dugaan kemenangan sebagian caleg pada Pileg lalu terjadi karena money politics dan praktik curang jual-beli suara, maka artinya legitimasi wakil rakyat ini sesungguhnya sudah tergadai sejak awal.
Dan bekerja sebagai wakil rakyat dengan legitimasi yang kecil hanya akan melegitimasi buruknya performa mereka selama menjadi wakil rakyat nanti.
Kedua, proses perekrutan caleg yang banyak dikritik karena dilakukan secara instan juga menambah rendahnya legitimasi wakil rakyat yang baru.
Proses rekrutmen instan tersebut kemudian menjelaskan pragmatisme dalam penyelenggaraan pemilu. Itu berarti bahwa caleg-caleg yang dihasilkan juga masih dekat dengan masalah DPR sebelumnya.
Ketiga, sembilan parpol masih merupakan parpol lama, dan hanya satu parpol baru yang menghuni parlemen. Artinya parpol-parpol masih dengan cara-cara sebelumnya menempatkan orang-orangnya di parlemen.
Pengaruh parpol ini mendominasi kerja seorang wakil rakyat.
Di tempat terpisah, peneliti dari LIPI Siti Zuhro mengemukakan secara umum DPR RI periode 2014-2019 dihuni oleh wajah-wajah baru dan lama. Kecenderungannya jumlah anggota Dewan yang baru jumlahnya lebih banyak dari pada yang lama.
“Dengan komposisi tersebut apakah kinerja DPR ke depan akan lebih baik? Apakah DPR akan mampu melakukan fungsi legislasi, pengawasan dan budgetingnya? Pertanyaan-pertanyaan ini belum bisa dijawab secara akurat saat ini,” katanya.
Namun, dia tegaskan kalau direview proses pileg 9 April yang lalu menunjukkan bahwa caleg-caleg yang disodorkan partai-partai politik sebagiannya dilakukan kurang cermat.
Caleg-caleg direkrut secara spontan dan kurang dibekali materi yaang cukup sebagai kader partaai. Tak sedikit kader-kader dadakaan direkrut menjadi caleg dan diterjunkan langsung di pileg. Kader-kader spontan seperti itu yang membuat kualitas partai menjadi sangat dipertanyakkan rakyat.
“Dengan fenomena pencalegan seperti itu, tentunya akan mempengaruhi kualitas anggota dewan. Hal ini yang menyebabkaab prospek DPR periode 2014-2019 bisa jadi tak terlalu cerah dan kurang menggembirakan,” jelasnya.
Sementara pengamat politik dari Poltracking Agung Baskoro mengemukakan optimisme menguat terhadap DPR periode 2014-2019.
Alasanya komposisi partai pemenang pemilu berubah. PDIP dan Gerindra yang akhir-akhir ini menjadi motor poros presiden, diharapkan dapat memberi warna baru karena pada periode sebelumnya hanya berperan sebagai oposisi.
“Dengan kondisi ini, diharapkan DPR baru semakin produktif. Selama ini, citra DPR memburuk akibat minim kerja dan begitu banyak kasus korupsi yang menjerat anggota-anggotanya,” tuturnya.
Sumber : Suara Pembaruan, 16 Mei 2014