METROTVNEWS.COM – Partai Golongan Karya (Golkar) telah secara resmi menyebutkan nama-nama yang duduk di kursi kepengurusan baru periode 2016-2019. Tak tanggung-tanggung, ada 247 nama di dalamnya. Pro-kontra mengenai kemungkinan lahirnya kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang gemuk ini sudah ditebak banyak orang. Hal ini, berkait-paut dengan janji Setya Novanto selaku Ketua Umum Partai Golkar untuk mengakomodir setiap faksi yang ada usai terpilih di Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Bali pada 17 Mei lalu. “Tentu, saya harap mereka tetap bersama di DPP,” kata Novanto.
Selain banyaknya nama di kepengurusan, Partai Golkar juga menjadi sorotan ihwal perubahan sikap di panggung perpolitikan nasional yang dinilai radikal. Pada momen yang sama, partai berlambang beringin ini menyatakan hijrah dari sebelumnya sebagai oposisi menjadi partai pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tak hanya itu, rayuan maut juga meluncur berupa pernyataan kesiapan Partai Golkar untuk kembali mendorong Jokowi bertarung di Pemilihan Presiden (Pilpres) di 2019 mendatang.
Setelah dua tahun dilanda konflik internal, Partai Golkar memang dibebani setumpuk pekerjaan rumah. Belum lagi muncul pula anggapan bahwa dari sederet nama itu terselip beberapa orang yang dianggap pernah terlibat masalah pidana. Jika semua sorotan itu cuma dianggap angin lalu, boleh jadi partai politik dengan usia 52 tahun ini tak akan mengalami banyak perubahan, selain mengenang kejayaan di masa lampau.
Hampir membaik
Dengan bekal kematangan sejarah di kancah perpolitikan nasional, Partai Golkar semestinya mampu belajar banyak dari pengalaman. Pengamat politik Hanta Yuda mengatakan sinyal semangat perubahan Partai Golkar sebenarnya sempat muncul di jelang pelaksanaan Munaslub kemarin. Sayangnya, hal itu redup di sesi-sesi akhir pesta demokrasi kaum beringin tersebut.
“Jika menengok Munaslub kemarin, sebenarnya sudah cukup baik secara demokratis. Meski demokratis itu ada dua, prosedural dan substansial. Secara prosedural relatif baik, misal dapat dilihat kompetisi terbuka. Tapi di sana masih dirasakan adanya pengaruh uang dan kekuasaan,” kata Yuda kepada metrotvnews.com, Senin (30/5/2016).
Berkaca dari kekurang-sempurnaan tersebut, Partai Golkar masih memiliki kesempatan untuk tampil lebih baik di tengah publik. Terpilihnya Setya Novanto dengan rekam jejak yang kontroversial sudah seharusnya diimbangi dengan susunan kepengurusan yang kredibel dan memiliki integritas yang tinggi.
“Harus ada figur yang baik, juga integritas yang jelas. Sehingga mereka tidak justru menjadi beban partai. Karena apa?, karena ketumnya (ketua umum) sudah kontroversial. Ini sebenarnya momen yang bagus untuk mengurangi citra buruk partai,” kata Yuda.
Yuda menyayangkan, pada akhirnya kesempatan baik itu lolos begitu saja. Dengan nama-nama yang disebutkan dalam jajaran kepengurusan, Yuda tak yakin Partai Golkar akan mengalami banyak perubahan.
“Terpilihnya ketum yang kontroversial yang tidak diimbangi figur kepengurusan yang baik akan membuat Golkar tidak berubah,” kata dia.
Yang gemuk, yang gagap
Partai Golkar menyebut jajaran kepengurusan barunya sebagai kabinet akselerasi kerja. Akan tetapi harapan perubahan secara cepat itu tidak tampak dari adanya nama-nama yang muncul di daftar kepengurusan. Tidak hanya itu, porsi kepengurusan yang melibatkan banyak orang akan menyulitkan mereka untuk bekerja secara cepat. Jika sebelumnya dibebani dengan amanat rekonsiliasi, keterwakilan setiap faksi semestinya sudah dianggap cukup untuk berjuang secara bersama-sama.
“Poin utama Munaslub kemarin memang menuju kepengurusan rekonsiliatif. Politik akomodatif dikedepankan. Niatnya melibatkan semua faksi. Tapi sebenarnya itu bisa dilakukan tanpa harus melibatkan banyak orang. Minimal diajak bicara dan keterwakilannya ada,” kata Yuda.
Sebagai partai modern dan demokratis, dalam menunjuk kepengurusan lebih menekankan pada sisi kompetensi yang dimiliki kader. Rekonsiliasi, kata Yuda, jangan sampai memberangus semangat perubahan ke arah yang lebih baik.
Dalam kesempatan terpisah, pengamat komunikasi politik Tjipta Lesmana menyatakan banyaknya nama yang masuk dalam jajaran kepengurusan Partai Golkar telah menyalahi tradisi yang ada. Tradisi kepengurusan gemuk hanya dimiliki oleh partai komunis, sebuah ideologi yang ditentang Golkar sejak awal kelahirannya.
“Di mana-mana gak ada yang begitu. Itu hanya biasa dipakai partai komunis. Itu tradisi komunis. Seperti partai komunis di Tiongkok,” kata Tjipta kepada metrotvnews.com, Senin (30/5/2016).
Menurut Tjipta, hasil Munaslub lalu hingga pengumuman kepengurusan hari ini menunjukkan kegagapan Partai Golkar dalam panggung perpolitikan Indonesia. Hal ini, kata dia, terutama terkait ketidak-tahanan Partai Golkar menempatkan diri sebagai partai oposisi pemerintahan Joko Widodo.
“Dukungan Golkar tempo lalu itu apalagi kalau bukan demi meraih kursi di kabinet?. Atau dengan tujuannya di 2019, jujur saja, pengalaman sejarah Golkar yang gak pernah di oposisi itu telah menjadikannya gagap,” kata Tjipta.
Manuver Partai Golkar untuk mendukung pemerintahan, kata Tjipta, sebenarnya tidak memberikan manfaat bagi di partai beringin itu sendiri. Sebab, rakyat yang telah menganggap Joko Widodo sebagai pemimpin ideal tidak lantas menganggap Partai Golkar sebagai pilihan politik yang baik pula.
“Presiden Joko Widodo juga harus hati-hati, jika melihat koalisi pelangi di era kepemimpinan SBY jilid dua, Partai Golkar itu yang pertama kali berbalik dan menghajar. Manuver Golkar selalu begitu. Bisa saja di tengah jalan nanti dia bertentangan lagi,” kata Tjipta.
Dengan merapatnya Partai Golkar ke pemerintahan, baik Hanta Yuda maupun Tjipta Lesmana menganggap bisa memberikan dampak positif dan negatif bagi dirinya sendiri. Harapan mendapatkan posisi aman dalam pertarungan politik memang ada, namun kata Tjipta, perubahan sikap partai yang didirikan pada 1964 ini belum tentu dianggap baik oleh para pendukungnya secara keseluruhan.
“Contohlah PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), saya lebih menghargai dia. Sepuluh tahun dia oposisi. Itu komitmen yang baik. Kita lihat saja Partai Gerindra sekarang, kalau bertahan itu akan memberi pengaruh yang bagus. Nah, Partai Golkar ini sangat disayangkan tidak memiliki komitmen yang kuat, ini juga bisa-bisa menjadi penilaian penting bagi para pendukungnya,” kata Tjipta.
Sumber : http://news.metrotvnews.com/news/4baX5ZWN